Selasa, 12 Januari 2010

Jejak Sejarah Islam Blora di Museum Mahameru

Jejak Sejarah Islam Blora di Museum Mahameru

MUSEUM Mahameru yang terletak di kompleks wisata Taman Tirtonadi Blora menyimpan banyak koleksi benda bersejarah peninggalan zaman kerajaan di Indonesia. Benda-benda itu hampir seluruhnya ditemukan di Blora. Dari sekian banyak koleksi yang tersimpan itu sebagian bernuansa islam. Itu ditunjukkan dengan terdapatkan huruf arab pada benda-benda tersebut. Selain itu, ada Alquran tulisan tangan, tafsir Alquran, dan kitab-kitab karangan ulama terdahulu. Hanya tidak diketahui dengan pasti kapan kitab-kitab itu dibuat. “Kami perkirakan kitab itu dibuat sebelum Islam masuk di Blora,” ujar Ketua Yayasan Mahameru, Gatot Pranoto.


Indikasinya, antara lain didapat dari keterangan sejumlah warga bahwa kitab yang kini disimpan di lemari kaca itu dibuat tahun 849 Hijriah (1428 Masehi) oleh ulama mesir.

Kitab tersebut bertuliskan tangan dengan tinta hitam. Bahan yang digunakan berupa kertas kuno. Kitab itu adalah Tafsir Jalalain, berisi tafsir Alquran surat Al Kahfi sampai Juz 29, ditulis Syeh As-Suyuti dari Mesir. Dari beberapa benda koleksi bernuansa islam di Museum Mahameru, terdapat Cupu (batu berongga) dari Desa Jiken, Kecamatan Jiken.

Ketua Yayasan Mahameru, Gatot Pranoto, menyebutkan, di dalam Cupu berisi medali atau bandul perunggu yang bertuliskan huruf arab. Konon ceritanya, Cupu tersebut peninggalan salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro. Ketika perang melawan penjajah Belanda di tahun 1825-1830 Masehi, Pangeran Diponegoro membekali para pengikutnya dengan benda-benda yang mampu membangkitkan kepercayaan diri. “Bisa jadi salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro itu adalah orang Blora,” tandasnya.

Benda koleksi Museum Mahameru lainnya yang bernuansa islam adalah Kitab Ushul. Kitab itu terdiri atas tiga pokok bahasan yaitu Ilmu Tauhid karangan Ibnu Abbas Ahmad, tanya jawab tentang Ilmu Fiqih dan Tauhid, serta tentang Ummu Barohim dan Fathul Mubin karangan Imam Sanusi.

Dari tulisan di dalam kitab diketahui, pemilik kitab tulisan tangan itu adalah Muhammad Munasir, Desa Sukorame, Distrik Tunjungan, Blora. Ada juga kitab yang terdiri atas tiga pokok bahasan, yaitu Sayidina (masalah tanya jawab tentang ilmu islam), MaĆ­rifatul Imam wal Islam tentang ilmu Tauhid, dan Fiqih karangan Abbas Ahmad dan kitab Ushul tentang dasar-dasar ilmu Fiqih.

Selain itu, ada Alquran tulisan tangan dari Surat Al Baqarah sampai surat Ibrahim. Gatot Pranoto menyebutkan, benda-benda tersebut merupakan hibah dari sejumlah warga di Blora. “Itu terkait erat dengan penyebaran agama Islam di Blora,” tandasnya.

Sejumlah versi sejarah menyebutkan, Islam kali pertama di Blora disebarkan Sunan Pojok. Selain keturunan dari para walisongo, Sunan Pojok juga mempunyai hubungan kedekatan†dengan budaya dan kesenian Yogyakarta. Sejarah itu pernah dikemukakan Kanjeng Raden Tumenggung H Harjono Nitidipuro yang datang bersama 14 orang abdi dalem dari Yogyakarta, khusus untuk menceritakan napak tilas sejarah Blora pada malam pengajian dalam rangka Haul Sunan Pojok tahun lalu.

Harjono Nitidipuro adalah salah seorang keturunan Sunan Pojok. Menurutnya Sunan Pojok sangat dekat dan setia pada Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram.

Semasa hidupnya dikenal dengan nama Pangeran Surabahu atau Syaikh Amirullah Abdulrahim, yang masih mempunyai hubungan darah dengan Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Ampel, dan Dewi Candrawati binti Arya Tejo Bupati Tuban, serta keturunan dari Sunan Ngudung yang berasal dari Jipang Panolan.

Tugas yang diemban Sunan Pojok pada masa kejayaan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645) sangat berat. Yakni menghadapi VOC dan beberapa adipati seperti Tuban, Pati, Pasuruan, Surabaya yang masih mbalelo terhadap Sultan Mataram kala itu.

Sunan Pojok yang kala itu menjadi panglima perang, berhasil menuntaskan pekerjaannya dengan kemenangan yang diraih pada 20 November 1626. Usai menjalankan tugasnya, Sunan Pojok kembali ke Blora.

Sumber : Suara Merdeka

HAUL MBAH BENUN SUNAN POJOK

SEJARAH SINGKAT
Ir. Kanjeng Raden Tumenggung H. Harjono Nitidipuro,MM salah satu ahli waris Sunan Pojok yang malam itu menceritkan sejarah Sunan Pojok menyatakan, kakek moyangnya yang mempunyai makam di Blora, tepatnya di belakang masjid agung Baitunnur Blora itu mempunyai makna sejarah yang tinggi.
Sebab, selain keturunan dari para wali Songo yang menyebarkan agama islam di tanah Jawa, juga mempunyai hubungan kedekatan dengan budaya dan kesenian Ngayogyakarta (Jogjakarta). "Sunan Pojok sangat dekat dan setia pada Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram.
Kemudian pengabdian tersebut dilanjutkan oleh putranya, Raden Mas Sumodito sebagai Bupati pertama Blora," ujar Harjono yang menceritakan kisah itu dengan bahasa jawa. Versi yang selama ini berkembang, bupati Blora pertama ada Wilyatikta.

Sunan Pojok yang semasa hidupnya lebih dikenal dengan nama pangeran Surabahu atau Syaikh Amirullah Abdulrahim, juga diceritakan masih mempunyai hubungan darah dengan Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Ampel dan Dewi Candrawati binti Arya Tejo Bupati Tuban, serta keturunan dari Sunan Ngudung yang berasal dari Jipang Panolan yang saat ini masuk Kecamatan Kedungtuban,Blora.

Tugas yang diemban Sunan Pojok pada masa kejayaan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645) sangat berat, yakni menumpas dua kekuatan, baik dari VOC Belanda yang berpusat di Batavia dan menghadapi beberapa adipati seperti Tuban, Pati, Pasuruan, Surabaya yang masih "mbalelo" terhadap Sultan dari Mataram kala itu.

Namun Sunan Pojok yang kala itu menjadi Panglima Perang berhasil menuntaskan pekerjaannya dengan kemenangan yang berhasil diraih pada 20 Nopember 1626, yang tercatat sebagai arsip nasional karena satu satunya peperangan yang mampu mengalahkan VOC, serta mengalahkan semua adipati yang menentang.

Setelah melapor den kembali ke wilayah Blora dan Tuban, Pangeran Pojok kelelahan dan jatuh sakit kemudian dirawat oleh putranya, R. M Sumodito, yang juga mempunyai sifat yang sama seperti ayahnya untuk selalu setia dan patuh pada kangjeng Sultan Agung dan Pangeran Mangkubumi Hamengkubuwono I selain juga berbakti pada orang tua.

MAKAM SUNAN POJOK
Makam Sunan Pojok terletak di jantung Kota Blora dekat dengan Alun-Alun Kota Blora, tepatnya berada disebelah Utara Pasar Kota Blora, sangat strategis dan mudah dijangkau baik dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Menurut data inventaris Kepurbakalaan dari Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Blora serta hasil dari pendapat sebagian tokoh masyarakat mengenai data-data makam para tokoh Pemerintahan dan Keagamaan pada waktu dulu, merupakan awal mula pemerintahan di Kabupaten Blora. Barangjkali dari sini dapat digambarkan asal mula Kabupaten Blora. Makam Sunan Pojok adalah Makam Pangeran Surobahu Abdul Rohim. Sebelumnya beliau adalah seorang perwira di Mataram yang telah berhasil memadamkan kerusuhan di daerah pesisir utara atau tepatnya didaerah Tuban, sekembalinya dari Tuban diperjalanan beliau jatuh sakit dan meninggal dunia di Desa Pojok Blora, Menurut seorang ahli makam, Mbah Sobib dari desa Bugel Menganti, Kecamatan Pecangaan Kabupaten Jepara, Pangeran Surobahu Abdul Rohim juga punya nama kecil yaitu Benun ( Mbah Benun ). Karena jasa-jasa Sunan Pojok, maka putranya yang bernama Jaya Dipa diangkat sebagai Bupati Blora yang pertama ( Dinasti Surobahu Abdul Rohim ), setelah wafat digantikan oleh putranya yang bernama Jaya Wirya, Kemudian oleh Jaya Kusumo. Keduanya, setelah wafat dimakamkan dilokasi Makam Pangeran Pojok. Kauman. Makam Sunan Pojok sering dikunjungi/ diziarahi oleh banyak masyarakat terutama pada malam jumat .
kegiatan haul biasanya tanggal 27 Suro ( Tahun Jawa ), serta pada saat Hari jadi Kab. Blora , dan dilaksanakan tanggal 10 Desember.